28 Juli 2009

NOVEL


SEJOLI HASAN DAN AISYAH


“Sudah aye bilang, aye kagak bisa mencintai Abang!”
Sudut matanya yang lentik melirik ke arah pemuda kerempeng di sampingnya. Si pemuda menahan senyum getirnya. Dia yakin kata-kata itu tidak sepenuhnya meluncur dari hati gadis manis berambut ikal di sampingnya.

“Aisyah…,”
“Lebih baik Abang pulang sekarang.”

Kelelawar terbang rendah. Senja hampir lewat. Langit mendung, raut muka Yusuf pun mendung seketika, seperti langit senja itu. Ada sebersit rasa kecewa mendengar ucapan gadis manis bernama Aisyah itu. Betapa tidak. Dialah gadis yang selama ini selalu mengisi mimpi-mimpinya. Dia sudah memutuskan tidak ada orang lain akan bersemayam di dalam relung hatinya paling dalam, kecuali Aisyah.

Untuk kesekian kalinya Yusuf memberanikan dirinya menghadap sang putri yang telah lama menjadi pujaannya. Seakan tidak pernah peduli apa pun yang bakal dihadapinya nanti. Dia tahu persis ayah Aisyah pasti akan murka bila mendapati dirinya kembali menghampiri Aisyah.

Berkali-kali keinginannya untuk dapat mempersunting gadis pujaannya itu selalu dihadapkan pada penolakan mentah-mentah ayah Aisyah. Dia maklum dan menyadari sepenuhnya siapa sebenarnya dirinya. Siapa ayah Aisyah. Siapa keluarganya dan siapa keluarga besar Aisyah.

Dirobeknya kembali kertas berisi kalimat – kalimat yang tidak pernah selesai. Berkali – kali dia coba menulis surat di atas kertas tetapi berkali–kali pula dia gagal, maka berlembar–lembar kertas telah memenuhi keranjang sampah di samping mejanya.

Diliriknya arloji di tangannya menunjukan pukul 00.25. Namun sedikit pun tak ada rasa kantuk di matanya. Bayangan wajah Aisyah tak mampu ditepiskan dari pikirannya. Gundah gulana semakin dirasakan ketika hari semakin mendekati pagi. Ini berarti semakin dekat waktu keberangkatan dirinya menuju suatu tempat di mana dia harus mejalani tugas Negara seperti yang telah diperintahkan di dalam surat Perintah yang diterima dari komandannya dua hari lalu.

“Jangan pernah lu bermimpi Yusuf, lu tuh anak siapa Aisyah itu anak siapa . Aisyah itu anak seorang penggede, tahu!.”

“Lu kagak lihat diri lu, Cup”

“Jadi orang dulu, Cup. Kerja…, !”

“Jadi orang berduit, jadi pegawai.. atau jadi pengusaha, baru lu akan dipandang oleh keluarga Aisyah…”

Ucapan-ucapan itu terngiang kembali dari orang dan saudara-saudaranya yang semuanya mengingatkan dirinya. Bahwa dirinya tak mungkin bakal mampu menggayut gadis cantik putri Mandor Hamid. Seorang yang boleh disebut sebagai pejabat negeri. Hamid adalah seorang pegawai negeri yang mengurusi pembangunan jalan. Orang menyebutnya tuan atau pak Mandor. Kaya dan berpengaruh di desanya. Rumahnya boleh dibilang paling besar dan megah. Bahkan rumah lurah maupun Haji Sanip yang juga kaya dan terpandang masih belum seberapa kalau dibandingkan dengan keadaan rumah Hamid. Dia memiliki anak satu-satunya putri bernama Aisyah.

Siapa yang tidak pernah mengenal Aisyah? Dia menjadi kembang yang dikagumi banyak orang, tidak hanya para pemuda di desa itu. Hampir semua pemuda di bilangan Depok mengenal gadis berparas cantik dan berperilaku lembut itu. Apalagi mereka yang pernah bersama-sama menjadi teman seangkatan sekolahnya, maupun teman-teman sepengajiannya. Aisyah memang mudah bergaul dengan siapa pun. Dirinya ternyata tidak pernah terkungkung oleh batas-batas rasa sosial, bahwa dirinya adalah anak dari keluarga terpandang Mandor Hamid. Hamid sendiri sebenarnya menurunkan sifat seperti itu kepada putrinya. Sebagai seorang pejabat negeri, seorang mandor, seorang terpandang di masyarakat. Dirinya tidak pernah membuat aturan yang mengada-ada buat putrinya. Nyatanya, Aisyah dapat menjalani dua pendidikan yang berbeda. Pagi hari dia bersekolah di Sekolah Rakyat, sore harinya dia masih dapat menuntut ilmu di sebuah madrasah yang kental dengan pendidikan Islam-nya. Inilah yang tampak dari kebebasan yang diberikan Hamid kepada putrinya saat itu. Jadilah Aisyah gadis yang cemerlang. Pintar dalam pendidikan di sekolah, dan mampu mengaji karena madrasah.
Beberapa kali, konon, orang melamar kepada Mandor Hamid untuk menyunting putrinya itu untuk dijadikan mantu, suami bagi anak lelakinya. Seorang Lurah dari Bekasi melamar untuk putranya yang baru saja menyelesaikan pendidikan dan bergelar insinyur dari sebuah universitas di Bandung, ditolak oleh Mandor Hamid karena kebetulan Aisyah yang tidak bersedia. Wedana dari Bogor mendatanginya untuk meminta Aisyah jadi mantu buat anaknya yang bekerja jadi pegawai negeri di Kantor Bupati, juga gagal. Sekali lagi Aisyah merasa tidak sreg.

Semua ini sempat membuat Hamid agak berang. Dia marah kepada putrinya yang tidak pernah bisa menentukan siapa pemuda calon pendamping hidupnya kelak. Tentu saja Hamid dan istrinya merasa khawatir dan tidak tenang lama-lama menghadapi sikap Aisyah yang seperti itu. Sementara, sebagai seorang gadis, Aisyah kini sudah menginjak usia dua puluh lima. Usia yang tidak muda lagi untuk seorang perawan. Apa kata sanak famili dan para tetangga, Aisyah yang cantik masih juga melajang. Beberapa sepupunya sudah menggendong anak. Beberapa teman sekolahnya sudah bertunangan. Beberapa yang lain sudah dibawa suaminya ke daerah lain. Ada satu teman karibnya bahkan sudah disunting seorang pilot dan kini tinggal di bilangan Menteng Jakarta.

Semenjak kepergian Yusuf, Aisyah seakan merasa kehilangan sinar kehidupannya. Entah apa yang membuat hatinya tidak pernah dapat berpaling dari pemuda kampung yang pernah menjadi temannya saat bersekolah di madrasah dulu itu. Aisyah melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah, bahkan begitu selesai sekolah menengah tingkat pertama dia sempat melanjutkan lagi ke sekolah menengah atas mengambil jurusan guru. Sementara itu Yusuf tidak mampu lagi melanjutkan, begitu menamatkan pendidikan ibtida’iyah dirinya terpaksa harus membantu ayahnya yang sehari-harinya harus mencari nafkah sebagai pedagang kecil di Pasar Maester Cornelis atau kadang di Kramatjati. Sejak dini hari sebelum subuh Yusuf harus membantu mengangkat barang-barang dagangan berupa sayuran dan hasil kebun yang diangkut dengan rakit atau getek lewat Sungai Ciliwung menuju pangkalan getek di bilangan Kalibata atau Cawang, karena pagi hari dagangan harus sudah sampai di Pasar Maester atau Pasar Kramatjati. Pekerjaan seperti inilah yang harus dijalaninya dua atau tiga hari sekali dalam seminggu. Belajar dan menyelami kehidupannya sendiri bersama ayahnya yang harus menghidupi keluarga dengan enam orang anak.

Aisyah selalu hanya memendamnya sendiri di dalam hatinya. Ia lebih banyak diam, atau menggeleng kalau ditawari memilih pemuda yang datang melamar kepada orang tuanya. Dia bilang tidak sreg. Selalu saja terkenang kembali masa kanak-kanak dulu yang indah dan lucu bersama teman-teman sekolah. Ia akan merah padam wajahnya menahan rasa malu bila teman-temannya menggodanya.

“Lu cantik, Aisyah…” Hanafi yang selalu menggoda. Anak lelaki ini memang agak bengal dan pemberani. Menggoda siapa pun yang dia suka. “Kalo bukan Mandor Hamid Baba lu gua datangi, tahu kagak.”

Ada lagi Dadang yang selalu hanya tersenyum kagum dan berusaha menyembunyikan perasaannya terhadap Aisyah. Tapi tak urung dia pernah menulis pada secarik kertas bergaris yang disobek dari bukunya dan dilipat lalu diberikan langsung kepada Aisyah.

… Aisyah, lu cantik. Gua malu mau bilang gua suka ama lu.

Aisyah menyimpannya semua kenangan-kenangan itu. Ia tidak mengelak pada kenyataan bahwa dirinya memang cantik. Ia selalu mensyukuri hal ini. Dan rasanya tidak satu pun teman-teman sebayanya dulu yang tidak menyukai dirinya. Baik teman-teman sepengajian maupun teman madrasah dan sekolahnya. Satu persatu ia ingat betul anak-anak lelaki yang blak-blakan maupun yang secara tersembunyi dan diam-diam jatuh hati kepadanya. Namun sekali lagi, ia selalu hanya menerimanya dengan sebuah sikap kewajaran sebagai seorang gadis yang sederhana. Tidak lantas dengan pongah dan sombong menolak dengan kata-kata yang tidak enak didengar telinga mereka, maupun dengan senang hati dan masygul menerima semua sikap pernyataan mereka. Semua ditanggapinya dengan senyum dan menggeleng. Tidak sreg! Cukup hanya itu alasannya.

Itulah Aisyah. Aisyah Nur’aini binti Hamid, begitu kalau mau disebut nama komplitnya. Seorang gadis kecil yang lincah, cerdas, dan cantik. Tidak pernah ketinggalan dalam pelajaran. Mengajinya pintar. Dan selalu mendapatkan urutan atas setiap kenaikan kelas. Bakal kecantikan dirinya sudah muncul sejak masa kanak-kanak. Ramah dan sopan kepada siapa pun. Santun ketika berbicara kepada siapa saja.

Dan masa kanak-kanaknya dilewati dengan manis. Masa remajanya tumbuh dengan ceria. Dan kecantikannya adalah anugrah Yang Kuasa membuat kagum dan menarik hati siapa pun yang memandangnya. Punya hidung yang agak mancung, beralis tebal, namun bulu matanya lentik dan agak melengkung. Kulitnya menuruni ibunya yang kuning langsat, sementara tubuhnya turun dari sang ayah. Tidak terlalu tinggi. Rambutnya selalu dibiarkan panjang. Lehernya agak jenjang selalu serasi dengan tubuhnya yang tidak pernah gemuk. Langsing. Kalau berjalan Aisyah menunduk. Punya langkah lembuh hampir tak terdengar.

Sampai kapan pun ternyata wataknya tidak pernah berubah. Lembut, sopan dan tidak punya sedikit pun sifat angkung pada dirinya.

Itulah Aisyah. Aisyah Nur’aini binti Hamid kalau mau disebut nama komplitnya.
Kini menginjak masa dewasa, kecantikan Aisyah semakin terlihat. Tak satu pun orang tidak merasa kagum bila sempat memandang pada dirinya.

Namun apa yang kini menjadi kegelisahan di dalam hati perawan cantik itu. Tak seorang pun bisa mendalaminya. Bahkan Hamid dan istrinya sekali pun. Itulah, Aisyah. Kini keceriaan yang dulu sempat menjadi warna dalam hidup kanak-kanak dan remajanya telah berubah. Aisyah menjadi agak pendiam dan tertutup.

Ada rasa penyesalan kepada nasib yang sedang dialaminya. Yusuf pergi entah ke mana. Tak seorang pun mau berkabar kepadanya tentang Yusuf. Pernah suatu kali didengar dari Halimah tentang Yusuf yang pergi meninggalkan keluarganya. Dia tidak bisa menerima hidup di desa itu dengan kemiskinan keluarganya. Dia bertekad ingin mencari hidup ke tempat lain. Dia banyak belajar dari orang-orang selama membantu ayahnya di pasar. Ternyata mereka semua adalah orang-orang jauh yang berdatangan mencari hidup dan kehidupan di Jakarta. Ternyata mereka adalah orang-orang perantau yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari rezeki ke Jakarta. Dia dapat menyimpulkan bahwa mereka juga pergi meninggalkan tanah kelahirannya pasti karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dari sini Yusuf belajar. Bahwa kehidupan harus dicari. Kalau tidak kita temukan di daerah tempat tanah kelahirannya kenapa mesti terus-menerus bertahan dalam kesulitan. Kenapa orang harus terkungkung dengan romantisme masa lalu, dengan keterikatan pada daerah dan tanah kelahirannya sekalipun kesusahan melilitnya. Suatu hari bulat tekadnya untuk pergi. Apa pun yang terjadi. Hidup harus diperbaiki. Hidup harus meningkat dan dipertahankan. Dirinya juga perlu membangun dari sekarang sebuah masa depan. Dia tidak boleh menjadi lelaki remeh yang tidak dipandang orang. Beberapa diingatkan ejekan orang terhadap dirinya yang membanding-bandingkan dirinya dengan Aisyah. Cinta memang tidak bisa dibendung oleh apa pun. Kenapa dirinya mesti jatuh hati kepada Aisyah. Salahkah aku mencintai Aisyah… Namun kembali lagi tekadnya untuk mencintai gadis pujaannya itu melemah setiap kali teringat akan keadaan dirinya yang miskin dan sengsara. Selain itu adik-adiknya juga harus bisa hidup layak seperti orang lain. Mereka kelak harus dapat bersekolah dan menuntut ilmu seperti orang lain. Hanya dengan ilmu dan pendidikan kehidupan bisa diperbaiki. Orangtuanya harus diangkat derajatnya dengan meningkatkan penghasilan Maka pergilah dia.

Konon Yusuf pergi ke Surabaya. Kini hampir tiga tahun semenjak kepergiannya, kerinduan Aisyah kepada Yusuf tak pernah pupus. Entah apa yang membuat hatinya tertambat kepada pemuda kerempeng miskin itu. Ia tahu semua orang akan heran dan mengejek bahkan menyalahkan dirinya kalau mereka tahu ia punya pilihan aneh terhadap pemuda bernama Yusuf. Namun apa pedulinya. Cinta memang tak dapat diatur dan diarahkan. Cinta tak tumbuh karena dipelajari. Cinta timbul secara rahasia dan misterius. Siapa pernah mengajari seseorang mencintai seseorang. Siapa pernah menyuruh orang mencintai seseorang. Ternyata selalu saja cinta tidak pernah memilih warna maupun bentuk seseorang. Salahkah kalau aku mencintai Yusuf…?

Aisyah memendamnya. Aisyah menggeleng bila ditawari lelaki yang datang dan melamar kepada orang tuanya. Aisyah sudah tetap. Dipilihnya Yusuf sebagai pemuda yang dicintainya. Ia yakin Yusuf adalah lelaki yang kelak bakal menjadi pendamping, pelindung, dan teman hidupnya.

“Yusuf lagi nunggu elu di rumahnya Haji Ja’far,” bisik Halimah yang sore itu sengaja datang ke rumah Aisyah.

“Emangnya?”

“Hla.. kangen kali ama elu. Kaya kagak tahu aja lu!”

Berdebar hati Aisyah. Tidak seperti biasanya Yusuf mengajaknya bertemu. Memang sudah hampir dua bulan sejak Aisyah sibuk menghadapi ujian akhir di SMA tidak lagi bertemu dengannya. Yusuf sendiri nampaknya ragu dan ada sedikit rasa minder. Aisyah sebentar lagi menjadi gadis tamatan sekolah menengah atas di Jakarta, sementara dirinya terhenti hanya sampai tamat madrasah dasar. Apalah artinya dirinya dibandingkan Aisyah. Kini dia hanya bisa sibuk mengurusi anak-anak. Hanya aktivitas mengaji yang bisa dilanjutkannya terus di rumah Haji Ja’far. Yusuf memang terlanjur dipercaya oleh ustadz Haji Ja’far untuk memimpin semua anak-anak yang menjadi santrinya. Bagi ustadz Ja’far, Yusuf satu-satunya murid pengajian yang aktif dan cerdas. Sering dia harus memerintahkan Yusuf menjadi penggangtinya jika sedang ada kesibukan harus menghadiri undangan pengajian atau ta’lim ke lain tempat. Sementara semua muridnya juga percaya dan hormat kepada Yusuf sebagai murid yang sudah dipercaya oleh ustadz mereka.

Sore itu seperti biasanya pelataran depan langgar yang terletak di samping kanan rumah ustadz Haji Ja’far ramai. Riuh rendah suara anak-anak bermain sepak bola di tanah berdebu sambil menantikan saatnya adzan maghrib. Mereka semua adalah murid-murid pengajian yang dipimpin oleh Haji Ja’far. Hampir tiga puluh orang jumlah murid pengajian ustadz Ja’far selalu tekun dan rajin mengikuti pajaran yang diberikan oleh ustadz mereka setiap malam. Sebuah tradisi turun-temurun yang berpuluh tahun berlangsung dan tak pernah berhenti di tempat ini. Maka hampir semua orang di desa itu bahkan juga dari desa-desa lain pernah menimba ilmu mengaji di langgar itu. Dahulu sebelum ustadz Ja’far mengambil alih, ayahnya yang bernama Mahmud bin Husein adalah perintis dari kegiatan pengajian di situ semenjak dirinya kembali dari mesantren di daerah Timur. Dan ketika Ustadz Mahmud wafat maka pengajian tetap dilanjutkan oleh anaknya.

Sementara itu di teras depan rumah Haji Ja’far tampak dua muda-mudi duduk di kursi. Kedua sejoli itu tak lain adalah Yusuf dan Aisyah. Keduanya duduk tidak berjauhan tetapi dipisahkan oleh sebuah meja bundar yang atasnya terbuat dari marmer. Seperangkat meja kursi tua terbuat dari kayu jati. Warnanya sudah coklat kehitaman dan tampak berdaki. Anyaman rotannya pun sudah berwarna tidak kuning lagi, melainkan kecoklatan. Di atas meja marmer tampak lampu gantung yang usianya juga sudah tua. Rantai penggantungnya sebagian dipenuhi debu dan tampak berkarat. Dan kap-nya yang terbuat dari beling putih juga memperlihatkan bahwa benda tua itu kurang terawat. Penuh debu di atasnya.

“Terus mau ke mana lu setelah tamat sekolah ini, Syah?”

“Kagak tahulah, Bang. Aye, kagak ngerti. Maunya Baba mah aye harus bisa kuliah di Jakarta atawa di Bandung. Biar jadi sarjana. Nyak yang ngotot aye harus kuliah. Aye harus bisa kerja bahkan kalo bisa kaya Baba. Pegawai negeri.”

“Nah, bener dong kalo Nyak punya kepinginan begitu, mah,” begitu kata Yusuf, mendegar penjelasan Asiyah yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas itu. “semua orangtua yang bener pingin anaknya lebih maju. Lebih enak hidupnya, lebih sejahtera.”

“Terus Abang sendiri gimana?”
Yusuf menggeleng.

“Semua orang punya jalannya dan nasib sendiri, Syah. Ada yang kaya elu, ada yang kaya aye.”

“Aye cuma nyanyangin Abang yang pinter waktu sekolah dulu, tapi kagak bisa ngelanjutin…”

“Kayaknya aye juga harus nerima keadaan ini, Syah. Mungkin nanti ada jalan buat aye bisa merubah hidup. Sementara biar aye bisa bantu-bantu Haji Ja’far di sini.”

“Iya, sih, Bang. Tapi aye sendiri juga kagak tahu, apa bisa nurutin maunya Enyak.”

Haji Ja’far keluar dari dalam rumah. Di belakangnya tampak Halimah membawakan minum.

“Kalo ada tamu mah bikinin air ngapa, Cup!” seloroh Haji Ja’far membuat Yusuf agak terkejut dan agak malu. Sementara Aisyah tersipu.

“Ah, jadi Halime yang repot, ya…”

“Kagak, emang repot apaan sih, timbang air…” tukas Halimah sambil menyodorkan nampan dengan dua cangkir berisi teh dan piring kecil dengan beberapa potong kecil dodol ke meja di depan Aisyah dan Yusuf.

“Udah lama, Neng?” tanya Haji Ja’far berbasa-basi. Padahal dia sudah tahu sejak tadi kedatangan gadis cantik putri Mandor Hamid itu.

“Eh, iya Wak Haji. Aye jadi ngeganggu, ya…”

“Ah, ngeganggu siape. Ucup kali nyang keganggu tuh. Aye mah kagak…”

“Bisa aje, Wak.”

“Baba bae, Neng?”

“Iya, Alhamdulillah, Wak, sehat semuanya.”

“Iya, dah.. salamin ya dari aye. Udah lama juga kagak ketemu. Paling ketemu juga kalo pas lagi kondangan aja. Baba lu mah orang sibuk si ya…”

“Insyaallah, Wak, ntar aye sampein salam dari Wak Haji.”

Haji Ja’far mengambil duduk di samping Yusuf, sementara itu Halimah seolah tahu diri untuk tidak nimbrung dengan mereka, langsung ngeloyor kembali ke belakang.

“Jadi elu udah lulus, Neng dari sekolah di Jakarta?”

“Iya… Alhamdulillah, Wak.

“Terus rencana gimana?” tanya Haji Ja’far lagi.

“Nah tuh dia, Wak. Enyak maunya aye lanjutin kuliah. Ke Bandung atawa ke Jakarta…,”

Haji Ja’far menoleh kepada Yusuf. Aisyah melihat hal itu, maka ia juga melihat ke arah wajah Yusuf. Kini Yusuf yang jadi agak gugup. Dia tidak bisa menerka-nerka apa yang ingin dikatakan oleh Haji Ja’far di hadapan dia dan Aisyah. Tapi Yusuf yakin pasti Haji Ja’far akan ikut berbicara masalah dirinya dengan Aisyah. Sedikit banyak Haji Ja’far sudah mengetahui tentang hubungan dirinya dengan anak Mandor Hamid itu. Haji Ja’far sendiri pernah menasehati bahwa segala sesuatu, termasuk jalinan cintanya dengan Aisyah ini, adalah tergantung niat. Apa pun bisa terjadi, katanya. Kini entah apa yang ingin disampaikannya, tiba-tiba kemarin Haji Ja’far menyuruh Halimah keponakan itu, untuk memanggil Aisyah ke mari.

“Begini, Aisyah… gua denger nih, elu ama Ucup bukannya udah lama pada demenan? Makanya sengaja nih gua kemaren nyuruh Halime bilangin biar elu dateng kemari.”

Semakin kaget Yusuf mendengarnya. Haji Ja’far tidak peduli, meskipun tahu persis perubahan roman muka Yusuf saat itu. Yusuf benar-benar tidak menyangka. Terlebih lagi Aisyah. Nampak raut mukanya agak memerah.

Haji Ja’far maklum. Sebagai orang tua yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, apalagi dirinya adalah seorang ustadz, apalagi dirinya pernah hidup merantau ke mana-mana menimba ilmu di beberapa pesantren, dan mempelajari berbagai ilmu baik agama maupun ilmu lainnya, tentu baginya persoalan anak-anak seperti ini merupakan hal yang sepele.Namun ada masalah hakiki yang mesti diluruskan. Begitu pikir Haji Ja’far.

Akhirnya di hadapan Yusuf dan Aisyah setelah panjang lebar menjelaskan tentang masalah perjodohan, rejeki, dan kematian yang pada hakikatnya semua berada di tangan Yang Maha Kuasa, Ustadz Ja'far ingin menegaskan kepada Aisyah bahwa Yusuf pernah dan masih menaruh harapan besar terhadap dirinya.

Aisyah tidak menjawab, hanya tertunduk. Ada air yang tertahan di pelupuk matanya.
Ustadz Ja'far pun merasa baru kali ini dapat melihat dengan jelas keadaan Aisyah anak Hamid itu. Aisyah ternyata seorang gadis yang benar-benar cantik. Dengan kerudung hijau muda yang dikenakannya wajah Aisyah tampak bercahaya.
…Hamid punya anak perawan secantik ini… begitu pikirnya. Ngidam apa dulu Marlina anaknya sekarang tumbuh kaya begini.

Ustadz Ja'far sendiri meskipun tinggalnya cukup jauh dari Aisyah, sebenarnya masih ada hubungan tali kekeluargaan dengan Hamid. Orang tua Hamid bernama Rohmat bin Sahali, adalah saudara sepupu dari Mahmud bin Husein, ayah Ustadz Ja'far. Hanya kebetulan Hamid bersekolah dan kemudian menjadi pegawai negeri. Sementara Ustadz Ja'far sepulang dari mesantren terus melanjutkan kegiatan ayahnya membina pengajian sambil mengurus kebun dan pertaniannya.

***

Diliriknya lagi arloji di tangan kirinya. Kini sudah menjelang subuh. Yusuf belum juga mampu mengumpulkan kata-kata menyusun kalimat di atas kertas. Padahal dia ingin, sekali ini saja, melayangkan surat memberi kabar kepada Aisyah. Meskipun benar bahwa selama hampir empat tahunan semenjak kepergian dari kampungnya dia tidak pernah memberi kabar kepada siapa pun. Bahkan kepada enyak dan babanya sekali pun.

Kini rasa gundah, rasa kangen, rasa kesendirian mendera hatinya. Ini barangkali yang dirasakan oleh setiap orang yang berada jauh di rantau,jauh dari kampung halaman, jauh dari orang tua, sanak saudara, dan orang terkasih yang sangat dicintainya. Perasaan seperti ini mampu dia tahan selama hampir empat tahun. Dia mencoba melupakan segala masa lalu dan semua kenangan termasuk menekan kerinduannya kepada Aisyah. Semua ini demi keinginannya untuk dapat merubah hidup yang pahit pada masa lalu. Dia ingin menunjukkan kepada siapa pun bahwa hidup di masa depan bisa dibangun. Dia ingin mengikuti keberhasilan banyak orang yang berdatangan untuk merubah hidup di Jakarta, seperti yang dulu sering dia saksikan di pasar saat membantu ayahnya berjualan.

Namun sejak kemarin sore dia seperti tak mampu lagi menahan rasa kangen rindu yang selama ini dia pendam sendirian di dalam hatinya. Hal ini disebabkan karena pagi ini dirinya harus sudah bersiap-siap bergabung dengan rekan-rekan seangkatan. Dia tergabung di dalam Kompi C yang harus ikut berangkat menuju ke Makasar dalam rangka tugas negara menumpas gerombolan makar di bawah pimpinan Kahar Muzakar. Ini adalah keberangkatan kedua menjauhi kampungnya setelah yang pertama dilakukannya hampir empat tahun lalu. Kini dia merasa kepergian ini harus dikabarkan. Dia ingin memberi kabar kepada Aisyah. Dia ingin kekasihnya itu tahu bahwa dirinya sekarang sudah menjadi tentara. Apa pun nanti tanggapan Aisyah dia tidak peduli. Dia yakin Aisyah pasti bangga dan setuju dengan pilihan hidup yang diambilnya. Dia yakin Aisyah juga sedang merindukan dirinya.

Hingga pagi datang, akhirnya tak sepotong kalimat pun berhasil dia tulis untuk Aisyah.

***


BERSAMBUNG...